ILMI
PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KEMISKINAN
Pengertian
Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia
. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah
lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam
menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.
Ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku
manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku
manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok
menjadi perawat.
Syarat-syarat
ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus
tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.
Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu
alam yang telah ada lebih dahulu.
1. Objektif.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam.
Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif;
bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2. Metodisadalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara
umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada
metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui
dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan
yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara
utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat
menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah
kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua
segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat.
Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang
dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan
manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu
sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Pengertian
Teknologi
Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan
barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
Penggunaan istilah 'teknologi' (bahasa Inggris: technology) telah berubah
secara signifikan lebih dari 200 tahun terakhir. Sebelum abad ke-20, istilah
ini tidaklah lazim dalam bahasa Inggris, dan biasanya merujuk pada
penggambaran atau pengkajian seni terapan.[1] Istilah
ini seringkali dihubungkan dengan pendidikan teknik, seperti di Institut Teknologi Massachusetts (didirikan
pada tahun 1861).[2] Istilah technology mulai
menonjol pada abad ke-20 seiring dengan bergulirnya Revolusi Industri Kedua.
Pengertian technology berubah pada permulaan abad ke-20 ketika
para ilmuwan sosial Amerika, dimulai oleh Thorstein Veblen,
menerjemahkan gagasan-gagasan dari konsep Jerman, Technik, menjadi technology.
Dalam bahasa Jerman dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya, perbedaan hadir di antara Technik dan Technologie yang
saat itu justru nihil dalam bahasa Inggris, karena kedua-dua istilah itu biasa
diterjemahkan sebagai technology.
Dalam
bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan
cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam
menyelesaikan tugas-tugas tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah.
1. Kemajuan
teknologi yang bersifat netral (bahasa Inggris: neutral technological progress)
Terjadi bila tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitasdan kombinasi faktor-faktor pemasukan (input) yang sama.
Terjadi bila tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitasdan kombinasi faktor-faktor pemasukan (input) yang sama.
2. Kemajuan
teknologi yang hemat tenaga
kerja (bahasa Inggris: labor-saving
technological progress)
Kemajuan teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
Kemajuan teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
3. Kemajuan
teknologi yang hemat modal (bahasa Inggris: capital-saving technological
progress)
Fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.
Fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.
Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukan bahwa campur
tangan langsung secara berlebihan, terutama berupa peraturan pemerintah yang
terlampau ketat, dalam pasar teknologi asing justru menghambat arus teknologi asing
ke negara-negara berkembang.
Di lain pihak suatu kebijaksanaan 'pintu yang lama sekali
terbuka' terhadap arus teknologi asing, terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA),
justru menghambat kemandirian yang lebih besar dalam proses pengembangan
kemampuan teknologi negara berkembang karena ketergantungan yang terlampau
besar pada pihak investor asing, karena
merekalah yang melakukan segala upaya teknologi yang sulit dan rumit.
Ciri-ciri
Fenomena Teknik pada Masyarakat
Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatsme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengelimkinasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Ciri-ciri
Fenomena Teknologi Barat
1.)
Serba Intensif dalam segala hal.
contoh :Modal, organisasi, tenaga kerja, dan lain-lain. sehingga
lebih akrab dengan kaum elite daripada buruh itu sendiri
2.)
Dalam Stuktur Sosial
Teknologi Barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan
3.)
Kosmologi atau pandangan Teknologi Barat
-Menganggap dirinya sebagai pusat yang lain feri-feri.
-Waktu berkaitan dengan kemajuan secara linear
-Memahami realitas secara terpisah dan berpandangan manusia sebagai tuan
atau mengambil jarak dengan alam
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Nilai
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI
Ilmu pengetahuan dan teknologi sering
dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan
dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk,
sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984).
Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil darikegiatan sosial,
yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau
kelompok. Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini,
merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya
ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara umum dan
universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga
tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh
teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat
menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima
kebenaran.
IImu adalah bukan tujuan tetapi sebagai alat
atau sarana dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia. dengan memperhatikan
dan mengutamakan kodrat dan martabat manusia serta menjaga kelestarian
lingkungan alam.
Sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi
adalah bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis, soal
penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan
untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa
kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai
kemanusiaan Iainnya dikorbankan demi teknologi.
terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis, soal
penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan
untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa
kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai
kemanusiaan Iainnya dikorbankan demi teknologi.
Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan
teknologi itu bersifat netral
hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam
penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asas moral
atau nilai-nilai. golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui
ekses-ekses yang terjadi apabiia ilmu dan teknologi disaIahgunakan.
Nampaknya iImuwan goiongan kedua yang patut kita masyarakatkan
sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan “pelacuran”
dibidang ilmu dan teknologi, dengan mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan.
hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam
penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asas moral
atau nilai-nilai. golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui
ekses-ekses yang terjadi apabiia ilmu dan teknologi disaIahgunakan.
Nampaknya iImuwan goiongan kedua yang patut kita masyarakatkan
sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan “pelacuran”
dibidang ilmu dan teknologi, dengan mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan.
Upaya untuk menjinakkan teknologi diantaranya
:
Mempertimbangkan atau kalau perlu mengganti
kriteria utama dalam
menolak atau menerapkan suatu inovasi teknologi yang didasarkan pada
keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
menolak atau menerapkan suatu inovasi teknologi yang didasarkan pada
keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
Pada tingkat konsekuensi sosial, penerapan
teknologi harus merupakan
hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu.
hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu.
Kemiskinan
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dB. (Emil Salim, Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai
inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental
dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal:
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok
yang diperlukan,
Posisi manusia dalam lingkungan sekitar, dan
Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup
secara manusiawi.
Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup
di bawah garis kemiskinan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Tidak memiliki faktor produksi sendiri
seperti tanah, modal, keterampilan,
dsb.;
dsb.;
Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh
asset produksi dengan
kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usaha:
kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usaha:
Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak
sampai tamat sekolah dasar
karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja
bebas self employed),
berusaha apa saja;
berusaha apa saja;
Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan
tidak mempunyai
keterampilan.
keterampilan.
Pola relasi dalam struktur sosial ekonomi ini
dapat diuraikan sebagai berikut :
Pola relasi antara manusia (subjek) dengan
sumber-sumber kemakmuran
ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan,
dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang
atau sulit bagi atau oleh subjek tersebut.
ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan,
dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang
atau sulit bagi atau oleh subjek tersebut.
Pola relasi antara subjek dengan hasil
produksi. Ini menyangkut masalah
distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengan
kelayakan derajat hidup manusiawi.
distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengan
kelayakan derajat hidup manusiawi.
Pola relasi antara subjek atau
komponen-komponen sosial-ekonomi dalam
keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi.
Dalam hal iniadalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan peranan
manusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut.
keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi.
Dalam hal iniadalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan peranan
manusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut.
Fungsi kemiskinan :
Fungsi Ekonomi : penyediaan tenaga untuk
pekerjaan tertentu, menimbulkan dana sosial , membuat lapangan kerja baru dan
memanfaatkan pemulung dalam mengumpulkan barang bekas.
Fungsi sosial : Menimbulkan rasa simpatik,
sehingga munculnya badan amal dan zakat untuk menolong kaum miskin yang ada.
Fungsi cultural : Sumber inspirasi
kebijaksanaan teknokrat, sumber inspirasi sastawan dan memperkaya budaya saling
mengayomi antar sesama manusia.
Fungsi politik : sebagai kaum yang merasakan
kinerja pemerintahan dalam perbaikan ekonomi, dan sebagai kaum yang mengkritik
jika perekonomian tidak mengalami perubahan.
AGAMA DAN MASYARAKAT
Fungsi
Agama
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu
sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
• Karena agama merupakan sumber moral
• Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
• Karena agama merupakan sumber informasi
tentang masalah metafisika.
• Karena agama memberikan bimbingan rohani
bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam
keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana
firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia
senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam,
maupun dari luar dirinya.Macam-macam fungsi agama dalam masyarakat:
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut
sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama
itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial,
fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
– Memberi pandangan dunia kepada satu-satu
budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia
kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai
satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi
pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit
penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya
bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab
oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh
manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri.
Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya
adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
– Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu
kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam
pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan
keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan
dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran
kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod
etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan
fungsi kawanan social
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa
dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang
menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau
pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan
dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus
disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor
integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan
bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan
yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada
saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang
mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu
masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam
mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa
nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun
lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat
menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan
cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman
tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan
yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan
manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia
dari kejahatan atau kemungkaran.
Beberapa tujuan agama yaitu :
• Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada
Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
• Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar
kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup,
lahir dan batin, dunia dan akhirat.
• Menjunjung tinggi dan melaksanakan
peribadatan hanya kepada Allah.
• Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial
seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan
aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam
(seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan
ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan
melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama
ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial
untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama
(terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang
berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi)
seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun
tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara
sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama
menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para
elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja
sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama.
Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite
yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui
jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi
agama.
Di tangan penguasa atau politisi yang
ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar
disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa
mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau
bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai
kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan
fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang
ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan
fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang
melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama,
karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak
berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu).
Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah
laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula
kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata
lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi,
memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama
di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan
siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan
Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia
merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam
menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan
tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan
Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang
tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut
beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua
agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa
sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin
semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah
mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah
saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan
ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran
yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13),
perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum,
malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan
perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk
menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang
krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan
seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa
perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di
sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog
antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara
agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.
Dimensi-Dimensi Komitmen Agama
Cara Beragama:
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar
tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau
orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit
menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama,
bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal
keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan
formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya
mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh.
Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika
berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah
bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya.
Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya
mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan
penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka
bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan
orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama
berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka
selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan
dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang
dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa
oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka
mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
C. Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh
(Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-
nilai sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya
keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok keagamaan adalah sama.
2. Masyarakat- masyarakat pra- industri yang
sedang berkembang
Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Dan
fase kehidupan sosial diisi dengan upacara- upacara tertentu.
3. Masyarakat- masyarakat industri sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan
teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar
penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah
penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu
akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak masyarakat
sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan
kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
2.Pelembagaan Agama
3 Tipe
Kaitan Agama Dengan Masyarakat
Kaitan
agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
1.
Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama
yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok
keagamaan adalah sama.
2.
Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang berkembang
Keadaan
masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai
dalam tipe masyarakat ini. Dan fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-
upacara tertentu.
3.
Masyarakat- masyarakat industri sekular
Masyarakat
industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua
aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik,
tetapi yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas. Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak
terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama,
praktek agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
Pelembagaan
Agama
Agama
begitu universal, permanen (langgeng) dan mengatur dalam kehidupan, sehingga
bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Agama melalui
wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi
kebutuhan mendasar, yaitu selamat dunia dan di akhirat, di dalam perjuangannya
tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang
memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan
dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua
kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan
manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat
keagamaan. Dan terbentuklah organisasi keagamaan untuk mengelola masalah
keagamaan. Yang semula terbentuk dari pengalaman agama tokoh kharismatik
pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi kegamaan yang terlembaga.
Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, ide- ide, ketentuan
(keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Tampilnya
organisasi agama akibat adanya kedalaman beragama, dan mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan
sebagainya.
Agama
Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama
dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai,
sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad :
Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”.
Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada
sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan
dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai
sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang,
seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaiman
pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama juga
mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah kepada
kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua,
menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb ikatan-ikatan kemanusiaan.
Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh
suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja
menjadi salah satu factor pemicu konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.
SUMBER
Haryawantiyoko.Katuuk,
Neltje F.MKDU Ilmu Sosial Dasar.1996.Jakarta:Penerbit Gunadarma